Mendukung Kesejahteraan Siswa di Alam Terbuka: Pertolongan Pertama Psikologis, Kesehatan Mental dan Emosional pada Anak dan Remaja untuk Kegiatan Perkemahan dan Ekspedisi Sekolah
Sebagai penyelenggara kegiatan experiential education di alam terbuka, Jelajah Outdoor selalu mengedepankan aspek keselamatan dalam setiap program yang ditawarkan. Tidak hanya sebatas pada perlindungan fisik, namun juga mencakup kesejahteraan emosional dan psikologis peserta. Kami percaya bahwa pengalaman belajar akan lebih bermakna ketika peserta merasa aman, didengar, dan didampingi secara utuh—baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena itu, setiap fasilitator kami dibekali pemahaman dasar untuk merespons kondisi peserta dengan pendekatan yang manusiawi, inklusif, dan penuh empati.
Kontak kami di 085882107460 atau email ke info@jelajahoutdoor.org untuk free konsultasi

Salah satu materi paling berkesan yang saya dapatkan saat mengikuti OFFSEAS 2025 di Bangkok adalah presentasi dari Damien Santer (AEMED) berjudul “Supporting Student Well-being in the Outdoors: Emotional, Mental Health, and Psychological First Aid for School Camps and Expeditions.” Materi ini membuka wawasan saya terhadap dimensi pertolongan pertama yang belum banyak disentuh: pertolongan untuk luka yang tidak terlihat—emosi, pikiran, dan jiwa.
Sebagai pelaku First Aid dan pemerhati keselamatan, saya jarang menemukan pembahasan menyeluruh tentang penanganan psikologis atau emosional dalam kegiatan outdoor, meski kenyataannya, krisis ini cukup sering muncul. Pengalaman saya sebagai murid dari Dr. Siswo P. Santoso—dokter senior dan pelatih PMI di Fakultas Kedokteran UKI—memperkenalkan saya sedikit pada dunia ini. Kini, saya ingin berbagi beberapa catatan penting sebagai referensi awal bagi siapa pun yang berkegiatan di alam terbuka bersama anak-anak dan remaja.
Mengapa Kesejahteraan Mental Perlu Diperhatikan dalam Kegiatan Outdoor?
Dalam kegiatan experiential education seperti perkemahan atau ekspedisi, kita tidak hanya berhadapan dengan kelelahan fisik, tetapi juga tekanan emosi, sosial, dan psikologis yang dialami peserta—terutama anak-anak dan remaja. Mereka mungkin terlihat ceria di luar, namun menyimpan tekanan dari rumah, lingkungan sekolah, hingga dinamika kelompok yang baru mereka temui.
Kondisi ini dapat memperburuk potensi konflik, menurunkan partisipasi, bahkan menimbulkan risiko yang lebih besar apabila tidak ditangani dengan empati dan keterampilan yang tepat. Karena itulah, para fasilitator, guru, atau panitia perlu mengenali tanda-tanda awal distress psikososial dan mampu memberikan bantuan awal sebelum krisis memburuk.
Memahami Tiga Pilar Pertolongan Pertama Psikologis pada Anak dan Remaja (Non-Fisik)
Untuk menyamakan persepsi, mari kita pahami tiga istilah utama yang menjadi dasar penanganan di ranah ini:
1. Emotional First Aid
Ini adalah dukungan awal terhadap seseorang yang mengalami tekanan emosional, seperti rindu rumah, konflik hubungan, atau perasaan kecewa. Tujuannya adalah untuk memvalidasi perasaan mereka dan membantu mereka menemukan cara menghadapi tantangan emosional secara sehat.
2. Mental Health First Aid
Fokusnya pada gejala awal gangguan mental, seperti kecemasan, suasana hati rendah, atau gangguan makan. Ini bukan terapi, tapi bentuk pengenalan dan respons awal untuk kemudian diarahkan pada bantuan profesional jika perlu.
3. Psychological First Aid
Digunakan dalam situasi trauma akut seperti kecelakaan atau bencana. Tujuannya menciptakan rasa aman dan terhubung kembali dengan realitas. Pendekatan ini sering digunakan dalam situasi darurat pasca peristiwa traumatis.
Gejala Umum yang Perlu Diwaspadai
Transisi dari rumah ke lingkungan perkemahan seringkali memunculkan respons emosional. Beberapa gejala umum meliputi:
- Rindu rumah dan ketergantungan emosional
- Tekanan teman sebaya dan konflik sosial
- Kecemasan, kelelahan, hingga suasana hati yang rendah
- Frustrasi karena gagal mencapai ekspektasi atau merasa tertinggal
- Masalah harga diri, terutama terkait penerimaan sosial
Perubahan perilaku yang tampak seperti menarik diri, enggan terlibat, menangis diam-diam, atau agresi verbal bisa menjadi pertanda distress yang memerlukan intervensi cepat.
Gangguan Kesehatan Mental yang Umum pada Anak dan Remaja
Gangguan pada remaja seringkali sulit dikenali karena mereka cenderung menutup diri. Namun, beberapa kategori gangguan berikut patut diwaspadai:
- Gangguan kecemasan
- Gangguan suasana hati (depresi)
- Gangguan tidur, makan, dan penyesuaian
- Gangguan trauma atau stres pasca peristiwa
- Gangguan neurokognitif dan perkembangan
- Ketergantungan zat atau perilaku
Tidak semua harus ditangani secara klinis saat itu juga, tetapi mengenali gejalanya merupakan kunci penting untuk menentukan langkah selanjutnya.
Ketika Gangguan Datang dari Lingkungan
Lingkungan alam terbuka memiliki dua sisi mata uang: menyembuhkan atau memicu stres. Faktor-faktor seperti:
- Kelelahan fisik
- Kedinginan, lapar, atau kurang tidur
- Tempat asing yang menantang
- Dinamika kelompok yang penuh tekanan
…dapat menjadi pemicu krisis psikososial, terutama bila peserta mengalami trauma sebelumnya. Oleh karena itu, penting untuk bersikap sensitif terhadap kondisi ini.
Tanggap sejak awal. Tepat menangani. Cegah krisis sebelum membesar.
Pendekatan Inklusif: Pertolongan Pertama Psikososial
Gabungan dari: Emosional + Kesehatan Mental + Psikologis
Di tengah dinamika dan tekanan yang muncul dalam kegiatan perkemahan dan ekspedisi, sering kali kita dihadapkan pada situasi yang tidak hitam-putih. Seorang peserta mungkin tampak menangis karena rindu rumah, tapi bisa jadi itu adalah gejala kecemasan yang lebih dalam. Di sisi lain, ledakan emosi bukan sekadar “drama remaja,” melainkan bentuk distress psikososial yang sesungguhnya.
Inilah saatnya kita mengadopsi pendekatan untuk Pertolongan Pertama Psikologis pada Anak dan Remaja yang inklusif dan terintegrasi—tidak hanya melihat dari sisi emosi saja, atau murni sebagai isu kesehatan mental, tetapi sebagai rangkaian respons yang saling melengkapi antara Emotional First Aid, Mental Health First Aid, dan Psychological First Aid.
Dengan menggabungkan ketiganya, kita tidak hanya mampu memberikan bantuan awal, tetapi juga menciptakan suasana yang aman, penuh empati, dan mendukung proses pemulihan psikologis anak-anak dalam konteks alam bebas.
Pendekatan ini menekankan bahwa kita tidak perlu menunggu hingga krisis memburuk untuk bertindak. Bahkan dalam gejala ringan seperti menarik diri, hilang minat berpartisipasi, atau mulai menunjukkan tanda-tanda frustasi sosial, fasilitator dapat melakukan tindakan-tindakan kecil namun bermakna yang membantu peserta kembali stabil.
Beberapa prinsip dasar dari pendekatan ini meliputi:
- Penerimaan dan empati, tanpa menghakimi atau menekan
- Mendengarkan aktif, bukan hanya memberikan solusi
- Menjaga keamanan emosional dan sosial, bukan hanya fisik
- Menjembatani komunikasi antara peserta dengan guru/keluarga
- Membantu peserta mengenali perasaan mereka sendiri, serta memberikan harapan bahwa mereka tidak sendirian
RESPOND: Kerangka Respons Psikososial di Lapangan
Salah satu pendekatan yang sangat membantu adalah kerangka RESPOND, yang dirancang untuk membantu fasilitator dalam menangani distress secara sistematis:
- R – Relation: Bangun hubungan dan kepercayaan dengan mendengarkan secara aktif dan empati.
- E – Evaluation: Nilai kondisi emosional peserta.
- S – Safeguarding: Pastikan keselamatan peserta dari ancaman fisik atau emosional.
- P – Prioritization: Fokus pada isu yang paling mendesak.
- O – Offer Interventions: Berikan dukungan, waktu, atau ruang aman untuk pemulihan awal.
- N – Notification: Sampaikan ke tim pendamping, guru, atau keluarga jika perlu tindak lanjut.
- D – Disposition: Akhiri dengan rencana tindak lanjut atau rujukan ke profesional.
Pendekatan dalam Pertolongan Pertama Psikologis pada Anak dan Remaja ini dapat digunakan oleh siapa pun yang terlatih secara dasar, tanpa perlu keahlian psikologi klinis.
Penanganan Gangguan Perilaku Akut (Accute Behavioral Dissorder)
Dalam kasus yang lebih serius, seseorang bisa menunjukkan perilaku ekstrem: panik, teriakan, agresi, atau bahkan percobaan menyakiti diri. Ini disebut Acute Behavioral Disturbance (ABD). Penyebabnya bisa karena penggunaan zat, gangguan medis, atau trauma.
Tujuan dalam penanganannya adalah:
- Menjaga keselamatan semua pihak
- Menenangkan situasi menggunakan teknik de-eskalasi verbal
- Menghubungi profesional medis jika perlu
- Menghindari kontak fisik yang membahayakan
Prinsip De-Eskalasi: Mencegah Situasi Memburuk
Berikut adalah 10 prinsip de-eskalasi yang dapat digunakan saat menghadapi peserta dalam krisis:
- Hormati ruang pribadi
- Jangan memprovokasi
- Bangun komunikasi yang tenang
- Bicara singkat dan jelas
- Validasi emosi peserta
- Dengarkan aktif
- Temukan titik kesamaan
- Tetapkan batas perilaku
- Tawarkan pilihan dan harapan
- Evaluasi dan tindak lanjuti
Kuncinya adalah menjaga sikap tenang, tidak reaktif, dan hadir dengan empati. Bahkan hanya dengan hadir sebagai pendengar yang tulus, kita telah mencegah potensi krisis.
Penutup: Hadir Sepenuh Hati di Alam Terbuka
Mendampingi siswa di kegiatan outdoor bukan hanya tentang menjaga mereka dari cedera fisik atau gigitan serangga. Ini adalah tentang hadir sepenuhnya—mendengar, memahami, dan menjadi ruang aman bagi anak-anak yang mungkin menyimpan luka batin. Sebagai fasilitator atau guru, kita tidak harus menjadi psikolog. Tetapi kita bisa menjadi penyelamat kecil yang hadir di momen krusial mereka.
Semoga catatan ini membantu teman-teman sesama pendidik, pelatih, dan penyelenggara kegiatan alam untuk melihat bahwa keamanan bukan hanya soal tali helm dan ransel, tapi juga perasaan yang tak kasat mata.
Disclaimer Penting
Tulisan ini disusun semata untuk membuka wawasan dasar mengenai pertolongan pertama emosional, mental, dan psikologis dalam konteks kegiatan outdoor, khususnya untuk anak dan remaja. Materi ini bukan acuan formal untuk diagnosis atau penanganan medis maupun psikologis. Jika Anda menghadapi kondisi yang serius, segera konsultasikan dengan dokter, psikolog, atau tenaga profesional yang berwenang.Dalam pelaksanaan program, perlu dipahami bahwa tanggung jawab lebih lanjut atas perilaku dan kesejahteraan peserta didik tidak sepenuhnya berada di tangan penyelenggara atau fasilitator, melainkan harus melibatkan guru pendamping, pihak sekolah, serta orang tua/wali siswa. Komunikasi yang terbuka, langkah penanganan yang etis, dan keputusan yang kolaboratif harus menjadi prioritas utama dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan semua peserta.
Sandi Taruni