“Melihat experiential education sebagai industri membuka peluang besar: peningkatan kualitas, standarisasi keselamatan, inovasi teknologi pembelajaran, serta kebijakan yang mendukung pengembangan SDM nasional.”

Selama bertahun-tahun, experiential education di Indonesia dipandang hanya sebagai metode—cara alternatif untuk belajar melalui pengalaman langsung di alam, komunitas, atau konteks nyata. Namun kini, pendekatan ini telah melampaui batasan metode semata. Ia telah tumbuh menjadi sebuah industri yang hidup, kompleks, dan berdampak luas.
Experiential education tidak lagi terbatas pada kegiatan sekolah atau komunitas. Ia telah menjadi kebutuhan nyata di berbagai sektor: perusahaan menggunakannya untuk pengembangan kepemimpinan, startup menggunakannya untuk membentuk budaya tim, dan pemerintah bahkan memasukkan pendekatan ini dalam program pendidikan karakter dan pelatihan vokasi.
Yang membuatnya layak disebut industri adalah karena telah terbentuknya ekosistem profesional: dari fasilitator, perancang program, penyedia lokasi, penyusun kurikulum, hingga lembaga sertifikasi. Bahkan kini, Indonesia telah memiliki asosiasi profesional seperti Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) yang secara aktif membangun standar, etika, dan jejaring di antara para pelaku.
Melihat experiential education sebagai industri membuka peluang besar: peningkatan kualitas, standarisasi keselamatan, inovasi teknologi pembelajaran, serta kebijakan yang mendukung pengembangan SDM nasional.
Dengan demikian, sudah saatnya experiential education tidak lagi diposisikan sebagai metode pelengkap. Ia adalah industri masa depan—yang tidak hanya mendidik, tetapi juga menggerakkan ekonomi, membangun karakter, dan memperkuat bangsa.
Industri Experiential Education Indonesia
Di tengah pesatnya perkembangan dunia pendidikan global, metode experiential education—pendidikan berbasis pengalaman langsung—seharusnya menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Sayangnya, di Indonesia, arah perkembangan industri ini masih terkesan kabur dan sporadis. Banyak inisiatif yang muncul, tetapi tidak terkonsolidasi. Banyak program yang berjalan, tetapi tidak terukur dampaknya. Ibarat kapal tanpa kompas, industri experiential education di Indonesia membutuhkan mercusuar: panduan yang jelas, pemimpin yang tegas, dan visi yang menyatukan.
Situasi Saat Ini: Fragmentasi dan Kebingungan Arah
Berbagai institusi, lembaga pelatihan, sekolah, dan komunitas mengembangkan pendekatan experiential dengan cara masing-masing. Ada yang mengusung kegiatan luar ruang (outbound), ada yang menerapkan project-based learning, ada pula yang menggabungkan pendidikan karakter dengan tantangan fisik dan emosional. Semua sah dan bernilai. Namun, tanpa standar yang jelas, tanpa indikator keberhasilan yang terukur, dan tanpa kerangka kerja yang mengikat, hasil dari pendekatan ini sulit dievaluasi dan direplikasi secara luas.
Ketidakterhubungan antar pelaku juga memperparah kondisi. Tidak adanya wadah kolaborasi yang kuat membuat masing-masing aktor berjalan sendiri, dengan interpretasi yang berbeda-beda terhadap apa itu experiential education. Akibatnya, potensi untuk menciptakan dampak sistemik terhambat.
AELI: Haruskah Menjadi Mercusuar, atau Butuh Mercusuar Itu Sendiri?
Dalam konteks ini, banyak mata tertuju pada AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia)—lembaga yang secara nama dan fungsi seharusnya menjadi penggerak utama dan pengarah industri ini di tingkat nasional. AELI memiliki posisi yang strategis, relasi dengan berbagai pelaku industri, serta sejarah panjang dalam membangun ekosistem experiential learning di Indonesia.
“Namun, pertanyaannya muncul: apakah AELI saat ini mampu memainkan peran sebagai mercusuar?”
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa organisasi ini justru terlihat tengah kehilangan arah. Tidak tampak adanya sosok pemimpin yang kuat dan inklusif yang mampu menyatukan visi para stakeholder. Banyak praktisi merasa “berjalan sendiri”, tidak terhubung, bahkan tidak yakin pada relevansi AELI terhadap kebutuhan nyata industri hari ini. Beberapa anggota senior dan pelaku lapangan mengungkapkan kekecewaan karena tidak adanya mekanisme onboarding yang efektif, komunikasi yang tidak terstruktur, serta minimnya kontribusi AELI dalam membentuk kebijakan, pedoman mutu, atau ruang kolaborasi lintas sektor.
Kondisi ini memunculkan dilema: apakah AELI bisa berevolusi menjadi mercusuar yang dibutuhkan, atau justru AELI sendiri sedang mencari cahaya untuk kembali menemukan perannya?
Mengapa Perlu Ada Mercusuar?
Mercusuar tidak hanya memberi arah, tetapi juga menjadi simbol kepercayaan. Industri experiential education Indonesia membutuhkan institusi yang dapat:
- Membangun kerangka kerja nasional yang inklusif dan aplikatif
- Menyusun standar kompetensi dan akreditasi bagi fasilitator dan lembaga
- Menjadi penghubung antara dunia pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat
- Mendorong riset serta dokumentasi praktik-praktik terbaik
- Menghadirkan kepemimpinan kolektif yang visioner dan partisipatif